GPN Indonesia.com, Jakarta – Ketua Umum DPP Gerakan Pemuda Nusantara (GPN) sekaligus Ketua DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Verry Achmad, melontarkan kritik keras terhadap struktur Kabinet Prabowo yang disebutnya sebagai kabinet gemuk. Ia menilai kabinet dengan jumlah menteri yang berlebihan ini mengingatkan pada era Kabinet 100 Menteri di zaman Presiden Soekarno pada tahun 1966.
Menurut Verry, kabinet seperti ini tidak hanya kurang efektif, tetapi juga membebani anggaran negara di tengah situasi ekonomi sulit akibat ketidakpastian geopolitik global.
“Kabinet ini lebih terlihat seperti ajang bagi-bagi kekuasaan kepada para pendukung politik dan pengusaha besar yang menjadi donatur pada pemilu lalu,” ujar Verry dalam keterangannya pada Redaksi, Sabtu (14/12/2024).
Ia juga menyoroti sejumlah program yang dinilai tidak memiliki dampak nyata, salah satunya program makan siang gratis bagi anak sekolah.
“Apa yang bisa diperbaiki dengan uang Rp10 ribu? Di Indonesia Timur, uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli nasi putih saja,” tegasnya, mempertanyakan efektivitas program tersebut dalam meningkatkan gizi anak-anak.
Selain itu, program 100 hari kerja kabinet juga dikritik karena dianggap tidak memiliki target yang jelas akibat tumpang tindih regulasi. Verry juga menyinggung program food estate yang sebelumnya gagal di Kalimantan namun tetap dipaksakan di Papua, dengan melibatkan pihak tertentu yang diduga memiliki konflik kepentingan.
Ia mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas kegagalan tersebut, termasuk mempertanggungjawabkan dana triliunan rupiah yang hilang saat program ini dijalankan di bawah pimpinan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan.
Dalam hal pemberantasan korupsi, Verry menyebut langkah-langkah pemerintah sejauh ini hanya sekadar lip service.
“Kenapa kasus impor yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong diusut, sementara kasus serupa di era menteri-menteri lain dibiarkan? Ini menunjukkan keberpihakan yang tajam hanya kepada lawan politik,” kritiknya.
Ia juga menyoroti absennya UU Perampasan Aset dan UU Pembatasan Uang Tunai dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 sebagai bukti lemahnya komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Di bidang energi, Verry menilai program ketahanan energi pemerintah hanya sebatas wacana tanpa target dan rencana implementasi yang jelas. “Semua serba tidak jelas, hanya dibicarakan tanpa ada kejelasan kapan akan dimulai dan bagaimana pelaksanaannya,” tutupnya.
Pernyataan ini menegaskan kekhawatiran publik terhadap arah kebijakan pemerintahan baru dan menantang pemerintah untuk membuktikan komitmen nyata dalam menata ulang prioritas program yang lebih berdampak bagi rakyat.