Jakarta, gpnindonesia.com – ,Seluruh Rakyat Indonesia dan juga Presiden Joko Widodo diminta mewaspadai sepak terjang Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan dan gengnya.
Sebab, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) di Kabinet Indonesia Maju Jilid II Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin itu diduga sedang merancang terjadinya kudeta militer atau kudeta konstitusi jelang akhir masa jabatan periode kedua Presiden Joko Widodo ini.
Indikasi gerakan kudeta itu terungkap dalam Dialog Kebangsaan Serie 2 bertema ‘Kudeta Konstitusi: Indonesia Menuju Negara Diktator’, yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partisipasi Kristen Indonesia (DPP PARKINDO) Masa Pelayanan 2021-2026 secara virtual, pada Selasa, 08 Maret 2022.
Akademisi dari Universitas HKBP Nommensen Medan, Dr Budiman NPD Sinaga mengungkapkan, ada sejumlah indikasi yang sudah terpublikasi di berbagai media massa, yang mengarah pada adanya dugaan kudeta konstitusi oleh kekuatan dari lingkaran Istana Negara itu sendiri.
“Seperti yang sudah terpublikasi di sejumlah media massa, ada oknum menteri dan juga oknum partai, serta mahasiswa dan pemuda yang terlihat meng-endorse wacana perubahan UUD 1945 dengan isu masa jabatan Presiden tiga periode, atau wacana perpanjangan masa jabatan Presiden dan juga wacana penundaan Pemilu 2014. Bahkan, secara terang-terangan, mereka itu menyebut bisa mengubah UUD 1945 demi masa jabatan Presiden,” ungkap Dr Budiman NPD Sinaga dalam diskusi itu.
Padahal, lanjut Budiman Sinaga, soal masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden memang wajib dibatasi di UUD 1945. Sebab, hal itu adalah hasil perjuangan reformasi 1998, yang secara sadar adalah sebagai keberhasilan Rakyat Indonesia untuk mengawal dan melakukan pengawasan terhadap penguasaan itu.
“Termasuk supaya Indonesia terlepas dari pengkultusan individu dalam berkuasa,” ujar Dr Budiman NPD Sinaga.
Dalam teorinya, dijelaskan Budiman, kudeta, entah itu kudeta politik, kudeta konstitusi, kudeta militer atau kudeta sipil sekali pun, selalu harus ada kekuatan militer. Kekuatan militerlah yang mampu menggerakkan sebuah kudeta.
Seperti di era Presiden Ke-4, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, menurut Budiman, hal itu adalah kudeta terhadap kekuasaan yang sah.
“Tentunya dengan dukungan kekuatan militer makanya kudeta itu bisa terjadi. Kalau tak ada kepastian dari militer atau tentara, maka bisa saja penggulingan Gus Dur waktu itu gagal,” sebut Budiman Sinaga.
Hadir sebagai pembicara dalam dialog ini yakni Prof Dr John Pieris, Guru Besar Tata Negara Universitas Kristen Indonesia (UKI), Dr Budiman NPD Sinaga, Akademisi Universitas Nommensen Medan, dan Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy And Policy Studies (PEPS), Presidium Poros Peduli Indonesia (Populis), dengan moderator Ketua Bidang Politik DPP PARKINDO, Charles D Sirait.
Dialog ini juga diikuti oleh Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) asal Kalimantan Tengah atau Senator, Agustin Teras Narang, Tokoh Kristen Prof Albertus Patty, Politisi Senior Bursah Zarnubi, Politisi PDIP I Wayan Sudirta, Dewan Pembina DPP PARKINDO Dr Lintong Manurung, Ketua Umum DPP PARKINDO Lukman Doloksaribu, Sekjen DPP PARKINDO Besli Pangaribuan, para pengurus DPP PARKINDO, aktivis mahasiswa lintas kampus, aktivis kepemudaan lintas organisasi, para akademisi, politisi, dan lain-lain.
Saat ini, salah seorang yang paling berkuasa di kabinetnya Jokowi-Ma’aruf Amin adalah Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan. Menko Marves itu tidak sendirian, dia memiliki geng atau kawan-kawannya di kabinet, partai politik, dan juga kaki tangan di masyarakat sipil.
Luhut Binsar Panjaitan secara politik adalah pengurus Partai Golkar, yakni sebagai Ketua Dewan Penasehat partai berlambang beringin itu.
Entah sebuah kebetulan atau memang sudah sebuah desain, Ketua Umum Partai Golkar saat ini adalah Airlangga Hartarto, yang juga sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. Airlangga sendiri yang menunjuk Luhut Binsar Panjaitan sebagai Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar.
Sedangkan Luhut sendiri, sebelum menjadi Menko Marves, adalah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia (Menkopolhukam) di era Presiden Jokowi tahun2015-2016.
Dr Budiman NPD Sinaga menyampaikan, dengan pendekatan Teori Negara, kudeta bisa berlangsung dengan kekuatan militer.
“Apakah ada hubungan-hubungan itu? Dari Teori Negara hal itu bisa terjadi, dengan kudeta militer,” ujar Budiman.
Luhut Binsar Panjaitan sendiri dikenal akrab dengan sejumlah veteran Panglima TNI. Hingga saat ini, Luhut juga menjaga hubungan baik dengan para jenderal. Selain itu, belum lama ini, penunjukan Panglima TNI dan juga Panglima Kostrad tidak terlepas dari campur tangan Luhut.
Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen Maruli Simanjuntak adalah menantu dari Luhut.
Sedangkan Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa adalah menantu dari mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono. Keduanya juga sebagai ‘orang-orang Istana’, yang dekat dengan Luhut.
Sedangkan di level mahasiswa dan kepemudaan, ada kaki tangan Luhut Binsar Panjaitan, yaitu Koalisi Bersama Rakyat (Kobar).
Kobar adalah relawan dadakan yang dibentuk untuk menghembuskan wacana dan mendorong masa jabatan tiga periode.
Salah seorang deklaratornya Sahat Martin Philip Sinurat, sering kali mengklaim dirinya sebagai ‘orang dekat’ Luhut Binsar Panjaitan. Petualang politik ini getol mewacanakan masa jabatan Presiden Tiga Periode, dengan berbagai deklarasi-deklarasi, yang diduga dibiayai oleh Luhut Binsar Panjaitan.
Sementara Luhut Binsar Panjaitan bersama Airlangga Hartarto dan Bahlil Lahadalia adalah sama-sama di dalam kabinet. Ketiganya saling berkoordinasi dengan sejumlah oknum partai politik juga untuk menghembuskan perpanjangan masa jabatan Presiden dan atau menunda pelaksanaan Pemilu 2024.
Ketiganya juga dianggap sebagai pemain dan tulang punggung sejumlah kebijakan sektor perekonomian di Indonesia, terutama untuk masa pandemi Covid-19. Mereka juga sebagai motor utama dalam suksesi sejumlah Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi seperti UU Minerba, UU Ibu Kota Negara (IKN), UU Omnibus Law atau UU Ciptaker, proyek-proyek tambang dan infrastruktur, serta berbagai regulasi lainnya yang bertentangan dengan UUD 1945.
“Praktek kartel politik seperti itu sedang berjalan. Dan itu semua akan bisa terjadi kudeta dengan dukungan militer,” ujar Budiman.
Dr Budiman NPD Sinaga mengingatkan, saat ini Indonesia menganut Demokrasi, dengan bentuk Negara Republik.
Perlu diketahui, lanjutnya, ada perbedaan mendasar antara demokrasi dengan republik. Demokrasi adalah sistem usang yang merampas hak-hak konstitusional rakyat.
Sebab, demokrasi adalah penyerahan kekuasaan rakyat untuk dijalankan oleh lembaga-lembaga Negara. Dan secara eksekutif dikuasai oleh Presiden dan para kabinetnya.
Sedangkan republik, terang Budiman, rakyat memiliki kekuasaan, dan petugas Negara harus tunduk kepada rakyat itu sendiri.
“Jadi, sepertinya demokrasi kita sedang dibajak. Seharusnya republik. Sebab dengan republik, rakyat itu sendiri yang memerintah, dengan cara pelaksana kekuasaan wajib taat dan tunduk kepada rakyat yang memberikan kekuasaannya untuk dilaksanakan,” tutur Budiman lagi.
Dengan mengikuti sejarah kudeta, lanjut Budiman, tergambar jelas beberapa metode atau cara yang dilakukan. Bisa lewat konstitusi, bisa lewat politik.
“Ada juga dengan metode konvensi. Dan semua itu dianggap legal. Namun biasanya mereka memastikan bahwa kekuatan militer dan kekuatan ekonomi ada di tangan mereka. Apalagi saat ini adalah periode terakhir Pak Jokowi sebagai Presiden, menurut Konstitusi yang sah,” jelasnya lagi.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) asal Kalimantan Tengah alias Senator Kalteng, Agustin Teras Narang, juga mempertanyakan statement dari Menteri Investasi Indonesia yang merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia. Yang menyatakan tiga periode untuk Presiden.
“Siapa sih Bahlil itu? Kok mengukur Konstitusi Negara Indonesia hanya dengan urusan ekonomi saja?” ujar Teras Narang.
Mantan Gubernur Kalimantan Tengah dua periode ini menegaskan, Indonesia adalah Negara Hukum. Dan Konstitusi yaitu UUD 1945 itu adalah hukum yang wajib ditaati oleh seluruh elemen masyarakat dan bangsa Indonesia.
“Indonesia adalah Negara Hukum. Kok bisa-bisanya menteri mengobok-obok Konstitusi kita dan kok dia merasa berhak melakukan perubahan konstitusi dengan alasan-alasan ekonomi yang dibuat-buat dia itu?” tanya Teras Narang.
Mantan Ketua Komisi II dan Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDIP ini menegaskan, seperti halnya Presiden, maka para menteri wajib tunduk, taat dan menjalankan amanat Konstitusi.
“Bukan malah jadi dia yang mengobok-obok konstitusi dong. Ini berbahaya sekali menteri seperti itu. Mereka kan seharusnya melaksanakan mandat rakyat secara patuh seperti yang tertuang di UUD 1945,” lanjut Teras Narang.
Teras Narang mengingatkan, kekuasaan itu biasanya akan melakukan empat hal dalam melanggengkannya.
“Pertama seseorang yang sedang berkuasa akan berupaya mempertahankan kekuasaannya itu. Kedua, seseorang yang berkuasa akan memperbesar dan memperluas kekuasaannya. Ketiga, akan berkeinginan berkuasa lagi. Keempat, seorang penguasa akan mempergunakan kekuasaannya itu, memanfaatkannya lewat alat-alat kekuasaan dan berbagai cara lainnya,” tutur Teras Narang.
Narang juga menyampaikan, saat ini pola pembagian kekuasaan ke Daerah telah kembali dikebiri. Sebab, Otonomi Daerah atau Desentralisasi itu sudah tidak berjalan.
“Seperti di Undang-Undang Minerba itu, yang tadinya diserahkan ke Daerah, sekarang ditarik kembali ke Pusat. Apakah Pusat tidak percaya dengan Kepala-Kepala Daerah itu? Kepala-Kepala Daerah kan Pemimpin di Daerah yang dipilih secara langsung dan demokratis juga oleh Rakyat di Daerah,” tutur Teras Narang.
Oleh karena itu, Tokoh Masyarakat Dayak ini mengusulkan agar dilakukan evaluasi terhadap Gerakan Reformasi yang digulirkan pada 1998 itu. Sebab, desentralisasi juga adalahs alah satu hasil dari gerakan reformasi itu.
“Kita perlu melakukan evaluasi terhadap Reformasi. Untuk melihat mana yang perlu diperkuat, mana yang perlu dipertahankan, dan mana yang perlu diperbaiki,” ujarnya.
Untuk dugaan kudeta konstitusi dengan alasan masa jabatan Presiden, Teras Narang menyebut, sejauh ini di Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), belum ada pembahasan atau usulan untuk membahas perubahan UUD 1945, terutama dalam urusan masa jabatan Presiden.
“Yang ada, beberapa kawan sesama anggota DPD, bisik-bisik di luar, mengenai masa jabatan Presiden ini. Dan yang saya tangkap, teman-teman itu tidak setuju dengan perubahan masa jabatan atau pun perpanjangan masa jabatan Presiden itu,” tutur Teras Narang.
Mantan Gubernur Kalimantan Tengah dua periode ini menyebut, dalam melakukan perubahan UUD 1945, ada mekanisme panjang yang harus diikuti. Setiap anggota DPR bersama anggota DPD untuk MPR, juga dihitung dalam pengusulan perubahan UUD 1945.
“Itu pun belum tentu usulan akan disetujui untuk melakukan pembahasan. Mesti jelas data, fakta dan juga prosesnya. Nah, kami di DPD belum ada membahas soal itu. Mungkin nanti dalam rapat DPD akan coba ditanyakan,” tutur Teras Narang.
Mantan Ketua Komisi II dan Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDIP ini juga menyatakan tidak setuju agar usulan perubahan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden itu dibahas di DPD dan MPR.
“Sebab, sejauh ini tidak ada usulan, dan tidak ada kondisi yang memaksa agar itu dibahas. Situasi Indonesia aman-aman saja. Masih dalam kendali yang normal. Kita memang harus taat dan tunduk kepada konstitusi kita yakni UUD 1945,” ujar Teras Narang.
Teras Narang menyampaikan, pihaknya akan mempercakapkan kondisi ini di internal DPD RI. “Mungkin nanti di dalam rapat DPD akan kita pertanyakan juga,” ujarnya.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Kristen Indonesia (UKI), Prof Dr John Pieris menyampaikan, usulan-usulan yang diduga telah mencederai konstitusi, seperti adanya upaya oleh segelintir oknum di partai politik dan relawan Jokowi yang mendesak-desak agar Presiden Jokowidodo melanggar konstitusi dengan masa jabatan tiga periode, atau memperpanjang masa jabatan, adalah bentuk pembangkangan terhadap konstitusi yang sah.
Apalagi, katanya, jika wacana itu hanya dikarenakan kepentingan sempit oleh para oknum itu, maka mereka layak mendapatkan sanksi atas dugaan pelanggaran konstitusi tersebut.
“Mereka bisa dikenakan sanksi. Walau pun sanksinya bukan lewat proses yudisial atau peradilan, tetapi sanksi sosial dan sanksi politik dari masyarakat sangat nyata,” lanjut Prof John Pieris.
Prof John Pieris menegaskan, mengenai masa jabatan Presiden telah dengan tegas dan jelas diatur pada Pasal 7 Undang Undang Dasar 1945 tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Bunyinya, ‘Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.’
Kemudian, Prof John Pieris juga mengulas Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Mengandung pengertian bahwa segala tatanan kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara adalah didasarkan atas hukum.
“Oleh karena itu, sangat tegas dinyatakan bahwa Negara Hukum itu harus ditaati. Indonesia adalah Negara Hukum, bukan berdasarkan kekuasaan. Sebab, jika segala sesuatu didasarkan pada kepentingan politik, apalagi politik kepentingan sesaat, maka itu namanya Negara Kekuasaan. Padahal, Indonesia adalah Negara Hukum. Dan Indonesia sepakat, kita semua harus taat dan tunduk pada hukum itu. Kita semua, termasuk Presiden wajib tunduk dan taat kepada UUD 1945,” terang Prof John Pieris.
Prof John Pieris juga tidak menafikan bahwa UUD 1945 bisa diamandemen atau diubah. Tetapi, tegasnya, persyaratan dan kondisi maupun faktor-faktor untuk mengubah konstitusi itu tidak mudah.
Bahkan, katanya, jika pun di Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 menyebut ‘Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang’, itu pun bukan berarti Presiden dengan mudahnya mengeluarkan Perpu.
“Syaratnya sangat berat, rumit dan sangat tidak mudah. Perpu pun harus taat kepada konstitusi. Harus menurut UUD 1945. Tidak boleh hanya karena desakan sekelompok kepentingan belaka, tidak boleh hanya karena keinginan-keinginan sepihak belaka. Atau, tidak boleh juga hanya karena keinginan parpol saja. Jadi UUD 1945 itu wajib hukumnya untuk ditaati dan dipatuhi,” terang John Pieris.
Bagi Prof John Pieris, pihak-pihak yang sedang berupaya mengutak-atik UUD 1945 saat ini, adalah pelecehan terhadap Bangsa dan Negara Republik Indonesia.
“Itu sama saja juga melecehkan para Reformator Indonesia, mencederai hasil-hasil perjuangan Reformasi. Yang menginginkan waktu itu, agar masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dibatasi. Agar seluruh rakyat bisa mengawasi dan mengawal kinerja kekuasaan,” tuturnya.
Karena itulah, Prof John Pieris menyebut, kelompok-kelompok Relawan Jokowi yang gembar-gembor hendak meminta Presiden kembali mengubah UUD 1945 dengan masa jabatan tiga periode adalah kelompok yang bersengaja melecehkan konstitusi.
“Kasihan sekali mereka. Mungkin hanya karena mendapat sedikit logistik seperti bikin kaos, bikin seminar atau duit untuk konperensi-konperensi pers malah dengan membabibuta mendesak agar tiga periode Presiden. Itu sungguh pelecehan terhadap Konstitusi Indonesia,” ujarnya.
Soal mengubah konstitusi, John Pieris mengingatkan agar tidak semena-mena dan tidak semudah berkoar-koar di media-media. Sebab, ada mekanisme panjang, ada kondisi yang sangat darurat, atau kepentingan jangka panjang Bangsa Indonesia, yang harus dipertimbangkan secara riil dan nyata.
“Mengubah UUD 1945 memang tidak tabu. Namun bukan berarti jadi bisa sewenang-wenang menyatakan mengubah Konstitusi. Mengubah Konstitusi juga harus taat kepada Konstitusi itu sendiri,” jelasnya.
Prof John Pieris menyebut ungkapan salah seorang Tokoh Bangsa Indonesia, dokter Johannes Leimena, yang di era Presiden Soekarno adalah seorang yang taat konstitusi dan tidak mendewakan kekuasaan dalam memimpin Negara.
“Seperti dokter Johannes Leimena pernah menyampaikan, ‘Politik bukan alat kekuasaan, tetapi etika untuk melayani’. Jadi, berpolitik itu juga harus beretika dan melayani rakyat dengan sungguh-sungguh. Itulah yang mesti dikedepankan. Bukan kepentingan sesaat dan kepentingan sesat ya,” tutur Prof John Pieris