Oleh :Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc., S.S., G.Dipl.IfSc.
Pembangunan hukum penyiaran merupakan bagian dari politik hukum yang menyelidiki perubahan-perubahan apa saja yang harus diadakan dalam hukum penyiaran yang sekarang berlaku (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran) supaya menjadi sesuai dengan kenyataan sosial (sociale werkelijkheid). Kenyataannya, aksi penolakan terhadap revisi Undang-Undang (UU) a quo terus berlangsung. Para jurnalis di berbagai daerah pun melakukan aksi demo untuk menolak Rancangan UU (RUU) Penyiaran ini.
Fungsinya sebagai perlindungan kepentingan para jurnalis, hukum penyiaran mempunyai tujuan yang hendak dicapai yakni menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Tercapainya ketertiban dan keseimbangan di dalam masyarakat pers diharapkan kepentingan dan marwah para ‘pejuang narasi’ ini akan terlindungi. Dengan adanya penolakan yang meluas di berbagai daerah hal ini menunjukkan tidak adanya hubungan keselarasan dan kemanfaatan antara RUU Penyiaran sebagai rencana hukum tertulis (ius constituendum) dengan masyarakat yang akan menggunakannya sebagai piranti sosial. Resistensi yang meluas tersebut juga menunjukkan bahwa RUU Penyiaran diduga proses pembuatan hukumnya bersifat ortodoks, sentralistis dalam arti lebih dominannya lembaga negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif dalam mewarnai hukum.
Pembangunan hukum penyiaran merupakan bagian dari politik hukum (rechtspolitiek). Politik hukum penyiaran didalamnya mencakup masalah pembangunan hukum penyiaran yang bermuara pada upaya pembaruan terhadap hukum yang ada (ius constitutum) dan dianggap usang oleh Pemerintah. Disamping itu, juga sebagai upaya pembentukan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi di kehidupan masyarakat.
Sepanjang sejarah politik hukum di Indonesia, sebenarnya sering terjadi tolak – tarik kepentingan antara konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Demokrasi dan otoriterisme muncul secara linear dengan kecenderungan sifat yang dibawanya masing-masing atau dengan tujuan-tujuan nya yang hendak dicapai. Sehubungan dengan kenyataan politik itu, perkembangan karakter produk hukum pun memperlihatkan dampak pengaruhnya, yakni kemungkinan munculnya antara produk hukum yang berkarakter responsif dan ortodoks.
Pada sistem rezim otoriter, hukum merupakan subordinasi politik, artinya bahwa hukum mengikuti arah kemauan politik. Dengan kata lain, hukum didayagunakan hanya demi menunjang tujuan politik sang penguasa. Sebaliknya dalam sistem rezim yang demokratis, hukum secara diametral terpisah dengan politik, artinya bahwa hukum bukan menjadi subordinasi dari politik. Posisi inilah hukum menjadi acuan dalam berpolitik bagi pemerintah dalam mengelola negara dan bangsanya, namun dalam kenyataannya subsistem politik memiliki energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah. Itulah sebabnya secara empiris, politik sangat menentukan corak dan bekerjanya hukum, tak terkecuali anggapan insan pers terhadap RUU Penyiaran ini.
Setiap upaya pembangunan hukum didalamnya pasti terdapat hubungan dengan persoalan masyarakat yang dalam hal ini adalah masyarakat pers. Hukum dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lainnya, karena keduanya saling membutuhkan. Hukum tanpa masyarakat, tidak akan ada gunanya, sebaliknya masyarakat tanpa hukum tidak akan berjalan dengan tertib, sebagaimana adagium yang menyatakan bahwa di mana ada masyarakat, maka di situ ada hukum (ubi society ibi ius). Masyarakat dalam menjalani kehidupannya akan selalu berubah dinamikanya. Perubahan dinamika kehidupan manusia itu disebabkan oleh adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan peradaban. Idealnya ketika masyarakat mengalami perubahan, maka hukum harus segera melalukan perubahan juga. Penulis beranggapan memang selayaknya UU Penyiaran harus mengalami perubahan agar mengikuti perkembangan zaman dan peradaban.
Adanya alasan fungsinya sebagai perlindungan kepentingan masyarakat, hukum harus mempunyai tujuan. Hukum juga harus mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib dan seimbang. Mengacu pada tujuan hukum tersebut, maka jelas hukum harus mempunyai hubungan dengan masyarakat. Hal ini berarti hukum yang akan dibangun termasuk pembaruan hukum harus diproyeksikan guna mencapai tujuannya yaitu menciptakan tatanan masyarakat yang tertib.
Haruslah diakui bahwa hukum adalah produk politik, karena ia dihasilkan dari kesepakatan-kesepakatan para elite politik. Hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling beriteraksi dan saling bersaingan. Oleh karena itu, dengan mengacu pada narasi sebelumnya, maka para elite politik sudah semestinya memperhatikan faktor kemasyarakatan sebagai kenyataan sosial.
Hukum sebagai himpunan peraturan, mengatur tatanan kehidupan yang dihasilkan melalui kesepakatan politik para pemegang kekuasaan legislatif, karena negara Republik Indonesia merupakan negara dengan sistem demokrasi, maka produk hukum yang dihasilkan mestinya bersifat demokratis pula. Faktanya, muatan – muatan yang terkandung pada produk hukum tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan politik yang ada di dalam lembaga legislatif tersebut. Produk hukum yang dirumuskan secara demokratis, tentunya dalam proses penyusunannya selalu melihat kehendak dan aspirasi yang tumbuh di masyarakat sehingga produk hukum yang nantinya dihasilkan itu sesuai dengan keinginan hati nurani mereka. Apabila produk hukum yang dihasilkan tersebut menjadikan masyarakat resah, melawan dan cenderung tidak mematuhi ketentuan hukum (civil disobedient) menandakan bahwa produk hukum tersebut ‘cacat’ dan tidak mampu memberikan kontribusi pada tercapainya keselarasan, kedamaian, ketertiban dan kemaslahatan sosial.
Ada dua macam strategi pembangunan hukum yang akhirnya berimplikasi pada karakter produk hukumnya, yaitu pembangunan hukum “ortodoks” dan “responsif”. Dalam strategi pembangunan hukum ortodoks, peranan lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen) sangat dominan dalam menentukan arah perkembangan hukum dan kebijakan negara. Produk hukum ortodoks atau elitis (konservatif) biasanya dilahirkan oleh konfigurasi politik yang otoriter. Kondisi politik yang seperti ini mengakibatkan semua potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi dan terartikulasikan secara proporsional. Kedudukan badan perwakilan rakyat dan partai politik lebih hanya merupakan alat untuk justifikasi (rubber stamp) atas kehendak politik pemerintah saja. Sedangkan di sisi lain pers tidak memiliki kebebasan dan berada di bawah kontrol ketat penguasa.
Pembuatan produk hukum dalam konfigurasi politik yang otoriter ini bersifat sentralistik-dominatif artinya para penguasa eksekutiflah yang mengkreasi produk hukum tersebut tanpa melibatkan partisipasi masyarakat luas. Muatan hukumnya sangat positivist-instrumentalistik, dan rincian isinya bersifat open interpretative. Hukum konservatif acapkali bersifat tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu di dalam masyarakat.
Adapun strategi pembangunan hukum responsif, ditandai dengan adanya partisipasi luas kelompok sosial atau individu-individu di dalam masyarakat. Produk hukum responsif atau populistik pembuatannya bersifat partisipatif dan muatannya sangat aspiratif. Produk hukum ini dikatakan aspiratif karena rakyat ikut serta dalam pembuatan kebijakan (keputusan yang dibuat adalah manifestasi dari keinginan-keinginan masyarakat luas). Produk-produk hukum responsif tidak menimbulkan multi tafsir karena ke-ambiguitasan-nya relatif sangat kecil. Hukum responsif lebih mencerminkan rasa keadilan dan tentunya lebih mampu memenuhi harapan mayarakat. Dalam proses pembuatannya memerlukan peranan besar dan partisipasi penuh pemikiran dari kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat.
Konsep hukum responsif senantiasa terlahir dari kondisi konfigurasi politik yang demokratis. Kondisi inilah yang membuka ruang bagi partisipasi masyarakat luas untuk terlibat secara menyeluruh dalam menentukan arah kebijakan negara yang berkaitan dengan persoalan hukumnya. Konfigurasi politik yang demikian ini senantiasa memposisikan pemerintah lebih sebagai organisasi yang melaksanakan kehendak dan amanat masyarakat. Suasana konfigurasi politik yang seperti ini menjadikan badan perwakilan rakyat dan partai politik berfungsi secara proporsional dalam pembuatan kebijakan negara yang berorientasai pada kepentingan dan keinginan publik. Sedangkan di sisi lain, pers dapat menjalankan fungsinya dengan bebas tanpa ancaman tindakan kriminalisasi dari pemerintah.
Kedua strategi pembangunan hukum tersebut memberi implikasi berbeda pada produk hukumnya. Strategi pembangunan hukum yang ortodoks bersifat positivistis-instrumental, yakni menjadi alat yang strategis bagi pelaksanaan ideologi dan program negara. Hukum yang terbentuk melalui strategi ini sebenarnya merupakan perwujudan nyata visi sosial para pemegang kekuasaan. Sedangkan strategi pembangunan hukum responsif, akan menghasilkan hukum yang bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok sosial dan individu dalam masyarakat.
Pengkualifikasian apakah suatu produk hukum responsif atau konservatif, maka indikator yang dipakai adalah proses pembuatan hukum, sifat fungsi hukum, dan kemungkinan penafsiran terhadap produk hukum tersebut. Produk hukum yang bersifat responsif, proses pembuatannya bersifat partisipatif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu-individu di dalam masyarakat. Adapun proses pembuatan hukum yang berkarakter ortodoks bersifat sentralistis dalam arti lebih dominannya lembaga negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif.
Dilihat dari fungsinya maka hukum yang berkarakter responsif bersifat aspiratif. Artinya, memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayaninya, sehingga produk hukum itu dapat dipandang sebagai kristalisasi dari kehendak masyarakat. Adapun hukum yang berkarakter ortodoks berifat positivistis-instrumentalis. Artinya, memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan politik pemegang kekuasaan atau memuat materi yang lebih merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan program – program pemerintah.
Secara garis besar setidak – tidaknya ada empat (4) hal yang menjadi dasar keberatan kaum pers terhadap RUU Penyiaran ini, yakni : (1) Adanya larangan bagi awak media untuk menayangkan hasil liputan investigasi karena hal tersebut bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang pada pokoknya tidak mengenal sensor dan pelarangan terhadap karya jurnalistik yang berkualitas; (2) RUU Penyiaran dianggap mengambil kewenangan penyelesaian sengketa dari Dewan Pers yang secara normatif telah diatur di Dewan Pers sebagaimana dituangkan dalam UU Pers; (3) Pelarangan penyiaran yang tidak sesuai dengan isi siaran sebagaimana terdapat dalam RUU a quo misalnya konten yang mengandung unsur mistik, pengobatan supranatural, dan sebagainya. Pelarangan ini dianggap mengangkangi kebebasan menyampaikan informasi pada masyarakat; (4) Pelarangan terkait konten dan/atau siaran yang bersifat subjektif menyangkut kepentingan politik yang berhubungan dengan pemilik dan/atau pengelola lembaga penyiaran dan penyelenggara informasi digital, yang dianggap mengurangi kebebasan pers.
Fungsinya sebagai perlindungan kepentingan para jurnalis, hukum penyiaran mempunyai tujuan yang hendak dicapai yakni menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Tercapainya ketertiban dan keseimbangan di dalam masyarakat pers diharapkan kepentingan dan marwah para ‘pejuang narasi’ ini akan terlindungi. Dengan adanya penolakan yang meluas di berbagai daerah hal ini menunjukkan tidak adanya hubungan keselarasan dan kemanfaatan antara RUU Penyiaran sebagai rencana hukum tertulis (ius constituendum) dengan masyarakat yang akan menggunakannya sebagai piranti sosial. Resistensi yang meluas tersebut juga menunjukkan bahwa RUU Penyiaran diduga proses pembuatan hukumnya bersifat ortodoks, sentralistis dalam arti lebih dominannya lembaga negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif dalam mewarnai hukum.
Pembangunan hukum penyiaran merupakan bagian dari politik hukum (rechtspolitiek). Politik hukum penyiaran didalamnya mencakup masalah pembangunan hukum penyiaran yang bermuara pada upaya pembaruan terhadap hukum yang ada (ius constitutum) dan dianggap usang oleh Pemerintah. Disamping itu, juga sebagai upaya pembentukan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi di kehidupan masyarakat.
Sepanjang sejarah politik hukum di Indonesia, sebenarnya sering terjadi tolak – tarik kepentingan antara konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Demokrasi dan otoriterisme muncul secara linear dengan kecenderungan sifat yang dibawanya masing-masing atau dengan tujuan-tujuan nya yang hendak dicapai. Sehubungan dengan kenyataan politik itu, perkembangan karakter produk hukum pun memperlihatkan dampak pengaruhnya, yakni kemungkinan munculnya antara produk hukum yang berkarakter responsif dan ortodoks.
Pada sistem rezim otoriter, hukum merupakan subordinasi politik, artinya bahwa hukum mengikuti arah kemauan politik. Dengan kata lain, hukum didayagunakan hanya demi menunjang tujuan politik sang penguasa. Sebaliknya dalam sistem rezim yang demokratis, hukum secara diametral terpisah dengan politik, artinya bahwa hukum bukan menjadi subordinasi dari politik. Posisi inilah hukum menjadi acuan dalam berpolitik bagi pemerintah dalam mengelola negara dan bangsanya, namun dalam kenyataannya subsistem politik memiliki energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah. Itulah sebabnya secara empiris, politik sangat menentukan corak dan bekerjanya hukum, tak terkecuali anggapan insan pers terhadap RUU Penyiaran ini.
Setiap upaya pembangunan hukum didalamnya pasti terdapat hubungan dengan persoalan masyarakat yang dalam hal ini adalah masyarakat pers. Hukum dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lainnya, karena keduanya saling membutuhkan. Hukum tanpa masyarakat, tidak akan ada gunanya, sebaliknya masyarakat tanpa hukum tidak akan berjalan dengan tertib, sebagaimana adagium yang menyatakan bahwa di mana ada masyarakat, maka di situ ada hukum (ubi society ibi ius). Masyarakat dalam menjalani kehidupannya akan selalu berubah dinamikanya. Perubahan dinamika kehidupan manusia itu disebabkan oleh adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan peradaban. Idealnya ketika masyarakat mengalami perubahan, maka hukum harus segera melalukan perubahan juga. Penulis beranggapan memang selayaknya UU Penyiaran harus mengalami perubahan agar mengikuti perkembangan zaman dan peradaban.
Adanya alasan fungsinya sebagai perlindungan kepentingan masyarakat, hukum harus mempunyai tujuan. Hukum juga harus mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib dan seimbang. Mengacu pada tujuan hukum tersebut, maka jelas hukum harus mempunyai hubungan dengan masyarakat. Hal ini berarti hukum yang akan dibangun termasuk pembaruan hukum harus diproyeksikan guna mencapai tujuannya yaitu menciptakan tatanan masyarakat yang tertib.
Haruslah diakui bahwa hukum adalah produk politik, karena ia dihasilkan dari kesepakatan-kesepakatan para elite politik. Hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling beriteraksi dan saling bersaingan. Oleh karena itu, dengan mengacu pada narasi sebelumnya, maka para elite politik sudah semestinya memperhatikan faktor kemasyarakatan sebagai kenyataan sosial.
Hukum sebagai himpunan peraturan, mengatur tatanan kehidupan yang dihasilkan melalui kesepakatan politik para pemegang kekuasaan legislatif, karena negara Republik Indonesia merupakan negara dengan sistem demokrasi, maka produk hukum yang dihasilkan mestinya bersifat demokratis pula. Faktanya, muatan – muatan yang terkandung pada produk hukum tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan politik yang ada di dalam lembaga legislatif tersebut. Produk hukum yang dirumuskan secara demokratis, tentunya dalam proses penyusunannya selalu melihat kehendak dan aspirasi yang tumbuh di masyarakat sehingga produk hukum yang nantinya dihasilkan itu sesuai dengan keinginan hati nurani mereka. Apabila produk hukum yang dihasilkan tersebut menjadikan masyarakat resah, melawan dan cenderung tidak mematuhi ketentuan hukum (civil disobedient) menandakan bahwa produk hukum tersebut ‘cacat’ dan tidak mampu memberikan kontribusi pada tercapainya keselarasan, kedamaian, ketertiban dan kemaslahatan sosial.
Ada dua macam strategi pembangunan hukum yang akhirnya berimplikasi pada karakter produk hukumnya, yaitu pembangunan hukum “ortodoks” dan “responsif”. Dalam strategi pembangunan hukum ortodoks, peranan lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen) sangat dominan dalam menentukan arah perkembangan hukum dan kebijakan negara. Produk hukum ortodoks atau elitis (konservatif) biasanya dilahirkan oleh konfigurasi politik yang otoriter. Kondisi politik yang seperti ini mengakibatkan semua potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi dan terartikulasikan secara proporsional. Kedudukan badan perwakilan rakyat dan partai politik lebih hanya merupakan alat untuk justifikasi (rubber stamp) atas kehendak politik pemerintah saja. Sedangkan di sisi lain pers tidak memiliki kebebasan dan berada di bawah kontrol ketat penguasa.
Pembuatan produk hukum dalam konfigurasi politik yang otoriter ini bersifat sentralistik-dominatif artinya para penguasa eksekutiflah yang mengkreasi produk hukum tersebut tanpa melibatkan partisipasi masyarakat luas. Muatan hukumnya sangat positivist-instrumentalistik, dan rincian isinya bersifat open interpretative. Hukum konservatif acapkali bersifat tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu di dalam masyarakat.
Adapun strategi pembangunan hukum responsif, ditandai dengan adanya partisipasi luas kelompok sosial atau individu-individu di dalam masyarakat. Produk hukum responsif atau populistik pembuatannya bersifat partisipatif dan muatannya sangat aspiratif. Produk hukum ini dikatakan aspiratif karena rakyat ikut serta dalam pembuatan kebijakan (keputusan yang dibuat adalah manifestasi dari keinginan-keinginan masyarakat luas). Produk-produk hukum responsif tidak menimbulkan multi tafsir karena ke-ambiguitasan-nya relatif sangat kecil. Hukum responsif lebih mencerminkan rasa keadilan dan tentunya lebih mampu memenuhi harapan mayarakat. Dalam proses pembuatannya memerlukan peranan besar dan partisipasi penuh pemikiran dari kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat.
Konsep hukum responsif senantiasa terlahir dari kondisi konfigurasi politik yang demokratis. Kondisi inilah yang membuka ruang bagi partisipasi masyarakat luas untuk terlibat secara menyeluruh dalam menentukan arah kebijakan negara yang berkaitan dengan persoalan hukumnya. Konfigurasi politik yang demikian ini senantiasa memposisikan pemerintah lebih sebagai organisasi yang melaksanakan kehendak dan amanat masyarakat. Suasana konfigurasi politik yang seperti ini menjadikan badan perwakilan rakyat dan partai politik berfungsi secara proporsional dalam pembuatan kebijakan negara yang berorientasai pada kepentingan dan keinginan publik. Sedangkan di sisi lain, pers dapat menjalankan fungsinya dengan bebas tanpa ancaman tindakan kriminalisasi dari pemerintah.
Kedua strategi pembangunan hukum tersebut memberi implikasi berbeda pada produk hukumnya. Strategi pembangunan hukum yang ortodoks bersifat positivistis-instrumental, yakni menjadi alat yang strategis bagi pelaksanaan ideologi dan program negara. Hukum yang terbentuk melalui strategi ini sebenarnya merupakan perwujudan nyata visi sosial para pemegang kekuasaan. Sedangkan strategi pembangunan hukum responsif, akan menghasilkan hukum yang bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok sosial dan individu dalam masyarakat.
Pengkualifikasian apakah suatu produk hukum responsif atau konservatif, maka indikator yang dipakai adalah proses pembuatan hukum, sifat fungsi hukum, dan kemungkinan penafsiran terhadap produk hukum tersebut. Produk hukum yang bersifat responsif, proses pembuatannya bersifat partisipatif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu-individu di dalam masyarakat. Adapun proses pembuatan hukum yang berkarakter ortodoks bersifat sentralistis dalam arti lebih dominannya lembaga negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif.
Dilihat dari fungsinya maka hukum yang berkarakter responsif bersifat aspiratif. Artinya, memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayaninya, sehingga produk hukum itu dapat dipandang sebagai kristalisasi dari kehendak masyarakat. Adapun hukum yang berkarakter ortodoks berifat positivistis-instrumentalis. Artinya, memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan politik pemegang kekuasaan atau memuat materi yang lebih merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan program – program pemerintah.
Secara garis besar setidak – tidaknya ada empat (4) hal yang menjadi dasar keberatan kaum pers terhadap RUU Penyiaran ini, yakni : (1) Adanya larangan bagi awak media untuk menayangkan hasil liputan investigasi karena hal tersebut bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang pada pokoknya tidak mengenal sensor dan pelarangan terhadap karya jurnalistik yang berkualitas; (2) RUU Penyiaran dianggap mengambil kewenangan penyelesaian sengketa dari Dewan Pers yang secara normatif telah diatur di Dewan Pers sebagaimana dituangkan dalam UU Pers; (3) Pelarangan penyiaran yang tidak sesuai dengan isi siaran sebagaimana terdapat dalam RUU a quo misalnya konten yang mengandung unsur mistik, pengobatan supranatural, dan sebagainya. Pelarangan ini dianggap mengangkangi kebebasan menyampaikan informasi pada masyarakat; (4) Pelarangan terkait konten dan/atau siaran yang bersifat subjektif menyangkut kepentingan politik yang berhubungan dengan pemilik dan/atau pengelola lembaga penyiaran dan penyelenggara informasi digital, yang dianggap mengurangi kebebasan pers.