Makam Mbah Canthing: Jejak Sejarah dan Spirit Perjuangan di Desa Mlorah

PENDIDIKAN PERISTIWA
Oleh: Muh. Barid Nizaruddin Wajdi

GPN Indonesia.com,NGANJUK – Di tengah pedesaan yang tenang di Desa Mlorah, Kecamatan Rejoso, tersembunyi sebuah makam kuno yang kini menjadi tempat ziarah dan pusat kegiatan keagamaan. Makam ini adalah tempat peristirahatan terakhir Tumenggung Sri Moyo Kusumo, atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Canthing.

Dia sosok legendaris yang berperan penting dalam sejarah perjuangan melawan penjajah Belanda bersama Pangeran Diponegoro. Terletak di RT 04 RW 01, di ujung jalan Pangeran Diponegoro, lokasi makam ini dahulu dikenal angker. Dengan suasana yang sepi, dikelilingi pekarangan kosong dan rumpun bambu.

Warga sekitar menyebutnya “pojok’an” karena lokasinya yang terletak di sudut desa. Namun, kini makam ini telah mengalami perubahan. Dikelilingi pagar dan akses jalan yang dipaving. Tempat ini tidak lagi terasa angker. Sebuah joglo kecil di sisi timur makam menjadi tempat para peziarah mengirim doa dan menjalankan ritual.

Pejuang dan Pembuka Lahan Desa Mlorah

Desa Mlorah memiliki ikatan kuat dengan Mbah Canthing yang dahulu menetap di sini setelah hijrah dari Kerajaan Mataram Islam. Berperan sebagai penghulu, Mbah Canthing juga dikenal sebagai sosok yang teguh dalam melawan penjajah.

Setelah bergabung dalam Laskar Diponegoro, ia melanjutkan perjuangan ketika Pangeran Diponegoro tertangkap dan diasingkan. Bersama ketiga rekannya, Mbah Canthing membawa semangat perlawanan ke wilayah Jawa Timur.

Di Desa Mlorah, ia menikah dengan Mbah Sawi dari Bojonegoro dan memiliki empat anak. Kini, keturunannya yang sudah mencapai generasi keempat dan kelima, tersebar di seluruh desa dan bahkan di beberapa dusun sekitar.

Makam yang Dulu Angker, Kini Penuh Kehidupan

Dulu, banyak orang menghindari makam Mbah Canthing. Bahkan di siang hari karena dianggap angker. Namun, kini suasana telah berubah total. Di sekitar makam, berdiri bangunan-bangunan baru, termasuk mushola dan tempat mengaji bagi anak-anak desa.

Yayasan Nahdhotul Muta’allimin, yang dipimpin oleh Kiai Riyanto—seorang putra asli Desa Mlorah yang lama menimba ilmu di Pesantren Sewulan Madiun—mengelola kegiatan keagamaan di sini. Setiap malam Jumat, diadakan kegiatan istigosah, tahlil dan pengajian di mushola.

Khusus malam Jumat Kliwon, jamaah yang datang semakin ramai, dengan peziarah yang berdatangan dari luar desa dan kecamatan, seperti dari Berbek, Sukomoro, Loceret, Gondang, dan Ngluyu. Para peziarah ini kerap kali berjumlah hingga 200 orang, menciptakan suasana yang hangat dan khusyuk di area makam.

Warisan Pembelajaran bagi Generasi Muda

Kiai Riyanto juga memperhatikan pendidikan anak-anak di desa. Setiap sore dan malam, anak-anak mengaji dengan metode Ummi di bawah bimbingannya. Kegiatan mengaji diikuti sekitar 80 santri pada sore hari dan sekitar 30 santri setelah Maghrib.

Tidak hanya pendidikan agama, para santri juga diajarkan keterampilan praktis seperti komputer dan mengemudi. Heri Susanto, pengelola lainnya, telah mengabdi selama 20 tahun dan mengaku merasakan ketenangan saat berkontribusi di lembaga ini.

Memelihara Spirit Perjuangan

Keinginan Kiai Riyanto sederhana, yaitu agar lembaga yang dikelolanya tetap membawa manfaat bagi masyarakat Desa Mlorah. Sesuai tujuan awal para pewakaf tanahnya. “Saya sudah tua, tidak ingin ikut dalam urusan politik. Biarlah yang muda saja yang mengambil peran itu,” ujarnya, dengan senyum tenang, Kamis (7/11). Ketika ditanya tentang calon pemimpin daerah pilihannya, ia hanya berujar diplomatis, “Siapapun yang menang adalah bupati kita,” ujarnya.

Menghidupkan Semangat Perjuangan di Jawa Timur

Menurut catatan sejarah, saat Perang Diponegoro pecah, banyak tokoh agama yang turut serta dalam perjuangan. Termasuk para kiai dan penghulu yang bergerak melawan penjajah Belanda. Mbah Canthing diyakini termasuk dalam barisan pejuang tersebut. Dia memilih wilayah Mancanegara Wetan dan menyebar ke Jawa Timur bersama rekan-rekannya.

Dengan strategi dakwah yang dikenal sebagai “babat alas,” Mbah Canthing dan rombongannya membentuk kelompok kecil untuk membuka lahan. Termasuk menghidupkan spirit keagamaan di tanah-tanah baru. Di beberapa lokasi singgah, salah satu anggota rombongan kerap memilih menetap untuk mendirikan pusat dakwah. Sementara yang lainnya meneruskan perjalanan.

Membangun Perjuangan Lewat Pendidikan

Pasca hijrah ke berbagai wilayah di Jawa Timur, perjuangan melawan penjajah Belanda tidak lagi menggunakan senjata. Melainkan dengan pencerahan di bidang pendidikan. Mayoritas pejuang Diponegoro berasal dari kalangan santri yang mengalihkan fokus perjuangan mereka ke pendidikan, menghidupkan warisan budaya, dan nilai-nilai agama yang terus bertahan hingga sekarang.

Kini, Makam Mbah Canthing bukan hanya menjadi tempat bersejarah. Tetapi juga pusat pembelajaran bagi masyarakat. Makam ini mencerminkan jejak perjuangan Laskar Diponegoro dan menjadi saksi bisu transformasi sebuah desa yang dulunya dianggap angker menjadi tempat penuh kehidupan dan nilai luhur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *